Bias Gender Sekolah Ibu
Media Cetak Pikiran Rakyat Halaman 22
2019-1-4
Bias Gender Sekolah Ibu
BEBERAPA waktu lalu, warganet dikejutkan oleh adanya status Instagram Hengki Kurniawan, Wakil Bupati Bandung Barat, yang berencana menyelenggarakan Sekolah rbu untuk menekan tingginya angka perceraian di Bandung Barat. Di Sekolah Ibu tersebut para ibu akan diajarkan pemahaman tentang berumah tangga; bagaimana menghadapi suami, menahan emosi, dan berkomunikasi dengan anak yang bera-jak dewasa. Status ini disukai oleh 13.000 lebih warganet, tetapi tidak sedikit pula yang mengkritiknya, terutama dari para aktivis perempuan yang melihat status ini seksis, bersifat patriarka), dan diskriminatif terhadap perempuan.
Program Sekolah Ibu yang diusulkan adalah rencana program pemerintah daerah Kabupaten Bandung Barat. Idealnya suatu kebijakan diambil dengan dasar pengetahuan yang cukup tentang apa yang terjadi di lapangan sehingga berdasarkan penelitian, bukan asumsi.
Dari tujuan diselenggarakannya Sekolah Ibu yang diungkapkan oleh-Hengki Kurniawan, terlihat ada bias gender. Seolah-olah tingginya angka perceraian itu disebabkan oleh istri yang tidak tahu bagaimana cara menghadapi suami, emosional, dan kurang mampu berkomunikasi dengan anak-anaknya yang beranjak dewasa. Di dalamnya ada stereotip (pelabelan negatif) seolah perempuan itu merupakan penyebab utama perceraian.
Dalam upaya mengurangi angka perceraian, para aktivis perempuan sejak Kongres Perempuan pertama tahun 1928 menuntut adanya Undang-Undang Perkawinan yang dapat melindungi perempuan dari
begitu lemahnya institusi perkawinan yang rentan terhadap perceraian sepihak, poligami yang semena-mena, dan maraknya kawin paksa dan kawin anak. Setelah perjuangan ang alot dan memakan waktu sekitar 46 tahun, harapan untuk memiliki undang-undang yang mengatur perkawinan baru terwujud dengan adanya Undang-Undang Nomor l/Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP).
Diberlakukannya UUP dapat mengurangi angka perceraian. Seseorang yang beragama Islam jika akan bercerai harus mengajukan permohonan ke pengadilan agama, sedangkan yang non-Muslim harus mengajukan ke pengadilan negeri. Untuk bercerai, seseorang setidaknya harus mengikuti tiga kali sidang. Dalam sidang tersebut, para hakim berupaya mendamaikan pasangan yang hendak bercerai. Bahkan sejak 2008, dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Berdasarkan wawancara dengan para hakim yang bertugas di Pengadilan Agama Kota dan Kabupaten Bandung, kebanyakan, yaitu 8o%-9O% penyebab perceraian adalah masalah ekonomi. Ada yang tingkat ekonominya kurang, dan ada juga yang tidak di-nafkahi sama sekali oleh suaminya. Kasus suami yang meninggalkan istri, menurut hakim, itu di antaranya karena suami tidak mampu menafkahi keluarganya. Sebanyak 10% penyebab lainnya seperti per-
tengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga itu pada dasarnya adalah dampak dari masalah ekonomi. Sementara itu, untuk kasus perselingkuhan dan poligami termasuk 10% penyebab lain perceraian.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1/1974 Pasal 31 Ayat 3 menyebutkan bahwa "Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga".
Pasal ini mengonstruksi peran suami sebagai kepala keluarga ditugasi memberi nafkah dan istri ditugasi mengurus rumah. Namun, keadaan saat ini telah berubah dibandingkan saat UUP diberlakukan.
Hubungan suami dan istri dikatakan adil saat suami menjadi pencari nafkah tunggal dan istri menjadi ibu rumah tangga. Masing-masing berkontribusi dengan caranya masing-masing. Sebaliknya, saat suami tidak mampu mencari nafkah dan istri menjadi pencari nafkah tunggal, idealnya suami berkontribusi dengan mengurus rumah tangga, istri, dan anak. Saat penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan keluarga dan istri turut menjadi pencari nafkah, untuk menegakan keadilan, suami juga harus turut berkontribusi terhadap penyelesaian pekerjaan rumah tangga, sebagaimana istri berkontribusi terhadap nafkah keluarga.
Permasalahan rumah tangga dapat terjadi saat suami tidak dapat menunaikan kewajibannya memberi nafkah, tetapi tetap menuntut haknya untuk dilayani istri dan enggan me-
ngerjakan pekerjaan rumah tangga. Akibatnya, beban istri bertumpuk mulai dari bekerja untuk menafkahi keluarga, mengurus suami, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan mengurus anak. Tentu saja ini merupakan ketidakadilan bagi perempuan.
Akibatnya, perempuan juga berpikir rasional, daripada terbebani mengurus suami yang tidak menjalankan kewajiban berkontribusi pada keluarga lebih baik berpisah. Lain halnya jika suami yang tidak dapat menafkahi tersebut mau beren-dah hati mengambil alih pekerjaan rumah tangga seperti halnya istri mengambil alih perannya sebagai pencari nafkah.
Masalah juga dapat terjadi saat istri secara kaku mengikuti konstruksi peran sebagai orang yang dinafkahi atau diberi, baik berdasarkan UUP, fikih, atau konstruksi masyarakat Sunda, misalnya dikenal istilah dulang tinande (orang yang menerima). Akibatnya, walaupun istri lebih mampu untuk dibandingkan dengan suaminya, istri tetap menuntut untuk diberi.
Peran yang dibuat manusia baik itu melalui UU ataupun fikih/tafsir itu dinamakan gender. Karena gender itu dibuat manusia, ia bisa berubah dan diubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Saat perempuan menjadi pencari nafkah keluarga, ia tidak sedang melawan ko-dratnya. Demikian juga saat suami mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ia tidak sedang melawan kodratnya. Berbeda dengan gender, kodrat itu bersifat biologis dan tidak dapat dipertukarkan.
Kodrat laki-laki dan perempuan dibuat berbeda untuk tujuan reproduksi manusia. Saat perempuan sedang menjalankan beban reproduksinya se-
perti hamil, melahirkan dan menyusut, adil jika ia tidak dibebani juga untuk mencari nafkah sehingga mencari nafkah diidealkan bagi laki-laki. Namun, saat laki-laki terpuruk ndak dapat mencari nafkah dan perempuan dapat mencari nafkah, idealnya suami istri saling membantu dan saling menopang rumah tangganya.
Jadi apakah Sekolah Ibu ini solusi untuk menekan tingginya angka perceraian? It takes two to tango. Perlu dua orang untuk menari tango. Demikian pula halnya dalam berumah tangga. Perceraian bisa saja terjadi karena pihak istri atau pihak suami atau keduanya.
Maka Sekolah Orangtua akan lebih netral gender dibandingkan dengan Sekolah Ibu. Jika kedua belah pihak turut disekolahkan, mungkin angka perceraian bisa dikurangi. Semoga."*
Nina Nurmila
Original Post