Hukuman Mati bagi Koruptor
Media Cetak Pikiran Rakyat Halaman 20
2019-1-12
Hukuman Mati bagi Koruptor
PADA Jumat (28/12/2018), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk
sekian kalinya melakukan operasi
tangkap tangan (OTT). Kali ini yang
disasar adalah beberapa pejabat di
Kementerian PUPR dan rekanannya
dari PT WKE dan PT TSP. Ada 20
orang diamankan dalam OTT
tersebut. Mereka yang di OTT KPK
terkait proyek pengadaan Sistem
Penyediaan Air Minum di beberapa
daerah, di antaranya di Palu-
Donggala, Sulawesi Tengah. Uang
yang disita dalam OTT tersebut terdiri
dari uang rupiah sebesar Rp 500 juta,
25.000 dolar Singapura.
DUGAAN adanya tindak pidana korupsi pada OTT proyek SPAM di Palu-Donggala
tersebut menarik dikaji karena proyek itu diadakan untuk keperluan setelah bencana alam yang terjadi pada bulan September 2018 yang lalu. KPK melalui komisionemya Saut Situmorang menilai bahwa perbuatan yang dilakukan oleh oknum pejabat di Kementerian PUPR dan swasta tersebut sudah sangat keterlaluan, karena proyek bantuan bencana alam pun dijadikan lahan korupsi. Seharusnya itu tidak dilakukan karena masyarakat yang terkena bencana sangat membutuhkan air minum baik secara kuantitas maupun kualitas yang memadai. Kalau awal pengadaannya telah diduga terjadi korupsi, tentu hasilnya nanti tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena sudah sangat keterlaluan, KPK akan mempelajari apakah perbuatan yang dilakukan oleh oknum pejabat di Kementerian PUPR tersebut bisa dikenakan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001
Pasal ini merupakan satu-satunya landasan hukum hukuman mati yang dapat dikenakan kepada koruptor, yang selengkapnya
berbunyi "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan" sedangkan jenis-jenis korupsi sebagaimana diatur dalam beberapa pasal di UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 maksimal hukumannya hanya berupa pidana penjara 20 tahun dan seumur hidup.
KPK sangat antusias mengkaji penerapan Pasal 2 ayat (2) ini karena memandang bahwa oknum penjabat tersebut sangat tega melakukan korupsi terhadap bantuan bencana alam, sehingga terdakwa perlu dikenakan sanksi paling berat yakni hukuman mati agar dapat menimbulkan terapi kejut bagi jang lainnya. Terlepas pro dan kontra hukuman mati itu sendiri maka wacana KPK tersebut merupakan terobosan dalam upaya lebih mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini. Semangat ini patut didukung, tetapi perlu pula diwaspadai jangan sampai keinginan untuk menegakkan hukum justru melanggar hukum itu sendiri.
Konstruksi hukum
Sejak berdiri tahun 2002 sampai dengan saat ini, KPK memang belum pernah mendakwa dan menuntut terdakwa berdasarkan Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Begitu pula kejaksaan. Selama ini, yang digunakan oleh KPK dan Kejaksaan untuk menjerat pelaku korupsi yang terindikasi merugikan keuangan negara hanyalah Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Sanksi maksimal yang pernah dituntut oleh KPK dan Kejaksaan adalah sanksi hukuman seumur hidup sebagaimana dalam kasus Aki] Mochtar (mantan Ketua MK) dan Andrian Woworuntu (mantan pengusaha).
Lalu, apakah keinginan KPK untuk menerapkan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 dalam kasus OTT Proyek SPAM di Donggala-Palu, Sulawesi Tengah sudah dapat memenuhi unsur-unsur Pasal 2 Ayat (2) tersebut? Untuk itu, hal tersebut perlu dilihat dari dua hal.
Pertama, untuk menerapkan pasal itu maka perlu dipenuhi situasi kondisi tertentu, yakni dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Syarat-syarat yang dapat dikategorikan sebagai unsur ini bersifat alternatif bukan kumulatif karena kalimat dalam bagian penjelasan pasal tersebut menggunakan tanda koma.
Sebagaimana lazimnya dalam membaca pasal di berbagai undang-undang, tanda koma menandakan bahwa dari berbagai uraian yang ingin diatur jika salah satunya telah sesuai maka unsur dari pasal tersebut telah terpenuhi. . Jadi dalam konteks OTT terhadap
oknum pejabat PUPR dan swasta di atas, maka salah satu dari unsur dari bagian penjelasan dari pasal di atas relevan diterapkan karena dipandang dugaan korupsi yang dilakukan tersebut adalah sangat erat kaitannya dengan bantuan untuk bencana alam.
Kedua, meskipun salah satu unsur Pasal 2 ayat (2) tersebut telah terpenuhi maka apakah berarti KPK bisa memasukkannya dalam dakwaan dan tuntutannya nanti? Untuk menjawab hal ini maka masih perlu dianalisis unsur-unsur lain Pasal 2 ayat (2) itu. Pasal ini merupakan bagian yang tidak terpisah dari Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999, sehingga untuk menerapkan Pasal 2 ayat (2) dalam dakwaan dan tuntutan harus pula memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut.
Dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut unsur-unsumya adalah (i) setiap orang; (ii) perbuatan melawan hukum; (iii) memperkaya diri sendiri atau orang lain; dan (iv) adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Apabila dalam pengembangan penyidikan nanti KPK menemukan minimal dua alat bukti yang sah dan barang bukti yang berkesesuaian dengan unsur-unsur di atas maka wacana KPK menerapkan Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 dalam kasus di atas sudah tepat. Namun seba-
liknya, apabila KPK hanya menemukan fakta-fakta hukum bahwa kasus yang terjadi di Kementrian PUPR itu hanyalah berkaitan dengan suap menyuap maka secara normatif oknum-oknum pejabat PUPR dan swasta tersebut tentunya tidak dapat dikenakan, hukuman mati karena sanksi maksimal hal ikwal suap dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 sebatas pidana penjara maksimal 20 tahun atau hukuman seumur.
Dengan semakin masifnya perbuatan korupsi di Indonesia maka hukuman mati bisa menjadi alternatif untuk mengurangi terjadinya korupsi. Orang-orang yang rata- rata berpendidikan dan memiliki posisi tertentu di pemerintahan dan masyarakat yang berpotensi melakukan korupsi tentu akan berpikir 1.000 kali untuk melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri dan atau orang lain, serta merugikan keuangan negara. Hal ini telah dibuktikan di beberapa negara seperti di Singapura dan Tiongkok Di negara-negara tersebut, korupsinya dari tahun ke tahun menurun karena di samping penegakan hukumnya efektif juga telah diterapkannya sanksi hukuman hukuman mati untuk beberapa kasus. Indikatornya terlihat dari Indeks Persepsi Korupsi di negara-negara tersebut semakin membaik dari tahun ketahun.
Basis situasional
Di Tiongkok, orang-orang yang didakwa dan dituntut melakukan korupsi dengan nilai minimal Rp 193 juta, diancam dengan hukuman mati. Begitu pula di Vietnam, mereka yang melakukan kerugian terhadap keuangan negara dengan jumlah minimal Rp 283 juta, akan dikenakan pasal hukuman mati.
Bandingkan misalnya di Indonesia, di mana banyak koruptor kelas kakap - yang telah melakukan korupsi miliaran rupiah, tetap tidak dijatuhi hukuman mati. Hal ini disebabkan karena dasar pengenaan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia tidak berbasis nilai kerugian, tetapi berbasis pada keadaan/kondisi korupsi itu dilakukan, salah satunya harus terkait langsung dengan bencana alam sebagaimana telah disinggung di atas. Belum lagi kalau telah menjalani hukuman maka narapidana koruptor dapat memperoleh remisi bila berkelakuan baik selama di lembaga pemasyarakatan atau berstatus sebagai justice collaborator, sebagaimana remisi yang diterima oleh Nazaruddin dan Gayus Tambunan serta lain-lainnya.
Oleh karena itu, agar pemberantasan tindak pidana korupsi lebih dikuatkan lagi maka sudah saatnya penjatahan sanksi pidana mati bukan didasarkan basis
keadaan atau situasional, tetapi pada basis nilai kerugian keuangan negara yang diperoleh atau dinikmati oleh terdakwa. Jadi dengan demikian, Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 perlu direvisi dengan menghapus kalimat "dilakukan dalam keadaan tertentu" dan diganti dengan ide kalimat "dengan nilai kerugian keuangan negara yang diperoleh oleh terdakwa minimal sejumlah sekian rupiah" (tergantung kesepakatan antara pemerintah dan DPR selaku pembuat UU). Begitu pula Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 harus ditambah satu ayat dengan sanksi maksimal hukuman mati pula.
Penulis menyadari bahwa gagasan ini berat terwujud karena dikhawatirkan oleh pemerintah dan anggota DPR seolah-olah akan menggali lobang kuburan sendiri - karena pada faktanya banyak oknum pejabat eksekutif dan oknum anggota legislatif yang justru melakukan korupsi dengan nilai nominal yang besar. Semoga Pemilu 2019 di bulan April nanti, rakyat memilih wakil-wakilnya yang sangat pro pada pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga dengan demikian diharapkan masih ada secercah harapan untuk melakukan revisi Pasal 2 ayat (2) dan penambahan satu ayat pada Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tersebut. ***
Gazalba Saleh
Original Post